Beranda | Artikel
Talbis Iblis dalam Perkara Tawakal
Senin, 9 Mei 2022

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Talbis Iblis dalam Perkara Tawakal ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 7 Syawal 1443 H / 9 Mei 2022 M.

Kajian Islam Tentang Talbis Iblis dalam Perkara Tawakal

Banyak orang-orang salah dalam memahami tawakal ini. Sebagian orang mengatakan “saya bertawakal” tapi dia belum melakukan usaha yang maksimal. Ini tidak disebut tawakal, tapi dia berpura-pura tawakal. Yaitu dia berpura-pura menyerahkan dan menyadarkan urusan kepada Allah, tapi sebenarnya tidak.

Makhluk di dunia tentunya berlaku hukum sebab akibat. Kalau kita mau kenyang, maka kita harus makan. Tidak mungkin kita kenyang tanpa makan. Itu adalah hukum yang kita jalani di dunia. Sebagai makhluk, untuk mencapai sesuatu kita harus berikhtiar, baru kemudian kita serahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan pada kita akal agar bisa berpikir dan mencari ikhtiar yang terbaik untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

Orang yang bertawakal tanpa usaha yang maksimal, maka dia belum disebut tawakal. Akan tetapi sebagian orang mengucapkan kata-kata tawakal ini lalu dia meninggalkan ikhtiar. Ini adalah suatu kekeliruan.

Iblis mengelabui seseorang yang mengaku bertawakal dengan meninggalkan ikhtiar. Misalnya mendorong mereka berpergian tanpa berbekal. Mereka mengira hal itu adalah hakikat tawakal. Padahal itu bukan tawakal.

Ada seseorang yang berkata kepada Imam Ahmad “Aku ingin berangkat ke Mekkah dengan penuh tawakal tanpa membawa bekal.” Maka Imam Ahmad berkata kepadanya: “Kalau begitu berangkatlah tanpa rombongan.” Dia berkata: “Tidak, aku akan pergi bersama rombongan.” Maka Imam Ahmad berkata kepadanya: “Berarti kamu bertawakal kepada bekal orang lain.”

Tidak mungkin seseorang pergi safar dengan jarak yang jauh dan dalam waktu yang lama tanpa membawa bekal kecuali dia bersandar kepada bekal orang lain. Tidak tepat dikatakan “Aku bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala” lalu di pergi tanpa membawa bekal apapun. Itu tidak mungkin. Karena Allah menjadikan sebab atas segala sesuatu. Kita bisa sampai ke tujuan karena berbekal. Tidak mungkin kita sampai ke tujuan tanpa bekal.

Oleh karena itu hamba-hamba yang paling mulia (yaitu para Nabi dan Rasul) juga mengajari kita untuk berikhtiar baru kemudian bertawakal dengan cara yang benar. Ini adalah fitrah yang sebenarnya Allah tanamkan pada semua makhluk. Sampai burung juga bertawakal dengan mencari rezekinya, dia tidak duduk di sarangnya kemudian rezeki datang menghampirinya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata “Seekor burung pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong kemudian pulang sore hari dalam keadaan perutnya sudah penuh. Seandainya kalian bertawakal sebagaimana tawakalnya seekor burung, niscaya kamu akan diberi rezeki sebagaimana diberi rezekinya seekor burung. Dia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong dan pulang sore hari dalam keadaan perutnya sudah penuh.”

Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal. Seperti seekor burung bertawakal dengan mengais rezekinya. Dia tidak duduk manis di sarangnya kemudian datang rezeki itu kepadanya.

Seseorang yang dia berdoa, maka doa adalah salah satu bentuk ikhtiar. Namun harus disertai dengan ikhtiar yang lain. Seorang berdoa di masjid memohon rezeki kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada yang salah dengan itu. Hanya saja dia juga harus tahu sebab datangnya rezeki itu dengan cara apa. Tidak mungkin dia duduk di masjid atau duduk bersantai di rumahnya lalu rezeki itu datang menghampirinya.

Seperti makanan, kalau kita tidak ambil dengan tangan dan kita tidak masukkan ke dalam mulut, maka makan itu tidak akan jalan sendiri atau terbang lalu masuk ke mulut.

Apabila seorang hamba memahami tawakal dengan cara yang benar, maka insyaAllah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membantu dia untuk mencapai tujuannya. Tapi kalau dia tidak melakukan ikhtiar apapun, bagaimana Allah membantunya sementara dia tidak melewati jalurnya?

ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها إن السفينة لا تجري على اليبس

“Kamu mau selamat tapi kamu tidak melewati jalannya. Sesungguhnya perahu tidak akan berlayar di atas daratan.”

Demikian kita berikhtiar dengan ikhtiar yang nyata. Kita mohon rezeki kepada Allah dan berusaha dengan cara yang bisa kita maklumi. Tentu berbeda-beda antara satu zaman dengan zaman yang lain dalam hal mencari rezeki.

Nabi memberikan contoh seandainya seorang itu membawa seutas tali lalu dia pergi ke hutan mencari kayu bakar. Tentu ini disesuaikan dengan kondisi zaman itu. Begitulah ikhtiar yang mungkin bisa dilakukan manusia pada saat itu. Yaitu satu perumpamaan bahwa dia harus berusaha dengan usaha yang nyata. Kalau sekarang mungkin dia dengan cara yang lain. Baru kemudian dia bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena bagaimanapun ikhtiar yang kita lakukan, sekeras apapun usaha yang kita kerjakan, kalau belum ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka tidak akan sampai kepada kita. Walaupun semua manusia di muka bumi ini bersatu untuk membantu kita untuk meraihnya.

Penyakit Malas

Seseorang harus mengenali potensi diri dan anugerah yang Allah berikan kepadanya yang bisa dia gunakan untuk berikhtiar secara maksimal. Ada penyakit yang membatasi ini semua, yaitu penyakit malas.

Ada orang yang diberi potensi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk melakukan usaha yang maksimal, tapi karena penyakit malas ini semua menjadi berantakan dan runtuh. Maka seseorang wajib mengenali dirinya tentang apa yang Allah berikan kepadanya. Itulah rezeki, baik berupa ilmu, tenaga, kemampuan, potensi, itu semua adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dimana Allah berikan masing-masing orang berbeda bagiannya.

Allah perintahkan kita untuk melihat diri kita:

وَفِي أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ

“Dan pada diri kamu tidakkah kamu memperhatikannya?” (QS. Adz-Dzariyat[51]: 21)

Terkadang kita suka kufur nikmat. Karena kita tidak tahu seberapa besar nikmat yang telah Allah berikan kepada kita namun itu kita sia-siakan. Kita tidak gunakan potensi dan bakat yang Allah berikan sehingga terbuang percuma begitu saja. Kemudian kita katakan “Saya tawakal kepada Allah”. Ini adalah suatu pemahaman yang keliru tentang tawakal.

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia begitu saja sia-sia. Allah telah mencukupi segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup di dunia.

Belajar dari orang cacat

Coba lihat orang-orang yang cacat. Dimana Allah kurangi rezeki mereka. Dimana tidak diberikan kepada mereka seperti orang-orang yang sempurna/normal. Ada yang lahir tanpa penglihatan. Tapi coba lihat orang-orang yang buta ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kemampuan khusus kepada mereka yang dengan itu mereka bisa berikhtiar untuk mengais rezeki. Mereka mungkin punya indra pendengaran yang lebih daripada orang lain, mereka punya hati yang lebih kuat daripada orang lain, hati yang tegar tidak pernah mengeluh.

Lihatlah orang-orang cacat itu mereka sedikit mengeluh. Yang banyak mengeluh itu justru orang yang normal. Padahal Allah telah beri kecupan kepada mereka. Belajarlah dari orang-orang cacat ini.

Mereka tidak bisa melihat, tapi mereka seolah-olah berbuat seperti orang yang bisa melihat. Mereka mencari rezeki sendiri, tanpa bantuan orang lain. Mereka berjalan menggunakan tongkat, lalu setelah itu bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah yang membagi-bagi rezeki kepada manusia setelah mereka berusaha dengan potensi yang Allah berikan kepada mereka.

Sebaliknya kita lihat orang-orang yang penglihatannya normal justru berpura-pura buta lalu meminta-minta, tidak mau berusaha. Mereka mengkufuri potensi yang Allah berikan kepada mereka berupa penglihatan.

Lalu apa lagi talbis iblis dalam perkara haji yang lainnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/51691-talbis-iblis-dalam-perkara-tawakal/